BENARKAH ADA GHIBAH YANG IZINKAN OLEH ISLAM??
Pengajian Kesatu
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
اللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
Deskripsi
Mungkin kita sering bertanya-tanya ; dalam hati ; menjadi unek-unek ; belum terpecahkan ,bahwa "Benarkah ada Ghibah Yang Dibolehkan Oleh Syariat ?? "
Jawabannya Benar dan ada ,menurut jumhur ,uraiannya sbb :
"Sungguh saya melihat dalam 5 kitab yang membenarkan "Bolehnya membuka aib / mengghibah dengan tujuan kemaslahatan"
berikut ini nama kitab - kitabnya :
1.Al-Manhalul 'adzbul Maurud (hal : 313)
2.Qurrotu 'Anil Muhtaj (hal :311)
3.Syarah Al-Adzkar (Hal : 410)
4.At-Tashil Lita'wilittanzil Suratul Hujurat (Hal : 167)
5.Hidayatul Murid (Hal 471)
Semua ini saya sampaikan , agar kita tidak terancam oleh Al Baqarah :42; yang intinya "Larangan Menyembunyikan Ilmu" dimana dalam Sebuah hadits orang yang menyembunyikan ilmu itu, "akan diancam dengan 'Lizam' (Kendali) dari Api Neraka"
Berikut ini saya kutipkan Fatwa Imam Nawawi ra.h sebagai suatu contoh dan bantahan bagi yang menafikannya (menggap tidak ada ) " kebolehan dan keharusan membuka aib " :
للإمام النووي -رحمه الله تعالى-:
” اﻋﻠﻢ ﺃﻥ اﻟﻐﻴﺒﺔ ﺗﺒﺎﺡ ﻟﻐﺮﺽ ﺻﺤﻴﺢ ﺷﺮﻋﻲ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ اﻟﻮﺻﻮﻝ ﺇﻟﻴﻪ إلا ﺑﻬﺎ ﻭﻫﻮ ﺳﺘﺔ ﺃﺳﺒﺎﺏ:
اﻷﻭﻝ: اﻟﺘﻈﻠﻢ، ﻓﻴﺠﻮﺯ ﻟﻠﻤﻈﻠﻮﻡ ﺃﻥ ﻳﺘﻈﻠﻢ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻭاﻟﻘﺎﺿﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻤﻦ ﻟﻪ ﻭﻻﻳﺔ، ﺃﻭ ﻗﺪﺭﺓ ﻋﻠﻰ ﺇﻧﺼﺎﻓﻪ ﻣﻦ ﻇﺎﻟﻤﻪ، ﻓﻴﻘﻮﻝ: ﻇﻠﻤﻨﻲ ﻓﻼﻥ ﺑﻜﺬا.
اﻟﺜﺎﻧﻲ: اﻻﺳﺘﻌﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ ﺗﻐﻴﻴﺮ اﻟﻤﻨﻜﺮ، ﻭﺭﺩ اﻟﻌﺎﺻﻲ ﺇﻟﻰ اﻟﺼﻮاﺏ، ﻓﻴﻘﻮﻝ ﻟﻤﻦ ﻳﺮﺟﻮا ﻗﺪﺭﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﺇﺯاﻟﺔ اﻟﻤﻨﻜﺮ: ﻓﻼﻥ ﻳﻌﻤﻞ ﻛﺬا، ﻓﺎﺯﺟﺮﻩ ﻋﻨﻪ، ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ، ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻣﻘﺼﻮﺩﻩ اﻟﺘﻮﺻﻞ ﺇﻟﻰ ﺇﺯاﻟﺔ اﻟﻤﻨﻜﺮ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﻘﺼﺪ ﺫﻟﻚ ﻛﺎﻥ ﺣﺮاﻣﺎ.
اﻟﺜﺎﻟﺚ: اﻻﺳﺘﻔﺘﺎء: ﻓﻴﻘﻮﻝ ﻟﻠﻤﻔﺘﻲ: ﻇﻠﻤﻨﻲ ﺃﺑﻲ، ﺃﻭ ﺃﺧﻲ ﺃﻭ ﺯﻭﺟﻲ، ﺃﻭ ﻓﻼﻥ ﺑﻜﺬا، ﻓﻬﻞ ﻟﻪ ﺫﻟﻚ؟ ﻭﻣﺎ ﻃﺮﻳﻘﻲ ﻓﻲ اﻟﺨﻼﺹ ﻣﻨﻪ، ﻭﺗﺤﺼﻴﻞ ﺣﻘﻲ، ﻭﺩﻓﻊ اﻟﻈﻠﻢ؟ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ، ﻓﻬﺬا ﺟﺎﺋﺰ ﻟﻠﺤﺎﺟﺔ، ﻭﻟﻜﻦ اﻷﺣﻮﻁ ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ: ﻣﺎ ﺗﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺭﺟﻞ ﺃﻭ ﺷﺨﺺ، ﺃﻭ ﺯﻭﺝ، ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺃﻣﺮﻩ ﻛﺬا؟ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺤﺼﻞ ﺑﻪ اﻟﻐﺮﺽ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻌﻴﻴﻦ، ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺟﺎﺋﺰ ﻛﻤﺎ ﺳﻨﺬﻛﺮﻩ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﻫﻨﺪ ﺇﻥ ﺷﺎء اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ.
اﻟﺮاﺑﻊ: ﺗﺤﺬﻳﺮ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ اﻟﺸﺮ ﻭﻧﺼﻴﺤﺘﻬﻢ، ﻭﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻭﺟﻮﻩ:
?ﻣﻨﻬﺎ ﺟﺮﺡ اﻟﻤﺠﺮﻭﺣﻴﻦ ﻣﻦ اﻟﺮﻭاﺓ ﻭاﻟﺸﻬﻮﺩ، ﻭﺫﻟﻚ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﺈﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﺑﻞ ﻭاﺟﺐ ﻟﻠﺤﺎﺟﺔ.
?ﻭﻣﻨﻬﺎ اﻟﻤﺸﺎﻭﺭﺓ ﻓﻲ ﻣﺼﺎﻫﺮﺓ ﺇﻧﺴﺎﻥ، ﺃﻭ ﻣﺸﺎﺭﻛﺘﻪ، ﺃﻭ ﺇﻳﺪاﻋﻪ، ﺃﻭ ﻣﻌﺎﻣﻠﺘﻪ، ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ، ﺃﻭ ﻣﺤﺎﻭﺭﺗﻪ، ? ﻭﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺸﺎﻭﺭ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺨﻔﻲ ﺣﺎﻟﻪ، ﺑﻞ ﻳﺬﻛﺮ اﻟﻤﺴﺎﻭﺉ اﻟﺘﻲ ﻓﻴﻪ ? ﺑﻨﻴﺔ اﻟﻨﺼﻴﺤﺔ.
?ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺇﺫا ﺭﺃﻯ ﻣﺘﻔﻘﻬﺎ ﻳﺘﺮﺩﺩ ﺇﻟﻰ ﻣﺒﺘﺪﻉ، ﺃﻭ ﻓﺎﺳﻖ ﻳﺄﺧﺬ ﻋﻨﻪ اﻟﻌﻠﻢ، ﻭﺧﺎﻑ ﺃﻥ ﻳﺘﻀﺮﺭ اﻟﻤﺘﻔﻘﻪ ﺑﺬﻟﻚ، ﻓﻌﻠﻴﻪ ﻧﺼﻴﺤﺘﻪ ﺑﺒﻴﺎﻥ ﺣﺎﻟﻪ، ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ? ﻳﻘﺼﺪ اﻟﻨﺼﻴﺤﺔ، ﻭﻫﺬا ﻣﻤﺎ ﻳﻐﻠﻂ ﻓﻴﻪ، ﻭﻗﺪ ﻳﺤﻤﻞ اﻟﻤﺘﻜﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ اﻟﺤﺴﺪ، ﻭﻳﻠﺒﺲ اﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺫﻟﻚ، ﻭﻳﺨﻴﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﻧﻪ ﻧﺼﻴﺤﺔ ﻓﻠﻴﺘﻔﻄﻦ ﻟﺬﻟﻚ. ?
?ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﻭﻻﻳﺔ ﻻ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻬﻬﺎ: ﺇﻣﺎ ﺑﺄﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﻟﻬﺎ، ﻭﺇﻣﺎ ﺑﺄﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﺎﺳﻘﺎ، ﺃﻭ ﻣﻐﻔﻼ، ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ، ﻓﻴﺠﺐ ﺫﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﻟﻤﻦ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻻﻳﺔ ﻋﺎﻣﺔ ﻟﻴﺰﻳﻠﻪ، ﻭﻳﻮﻟﻲ ﻣﻦ ﻳﺼﻠﺢ، ﺃﻭ ﻳﻌﻠﻢ ﺫﻟﻚ ﻣﻨﻪ ﻟﻴﻌﺎﻣﻠﻪ ﺑﻤﻘﺘﻀﻰ ﺣﺎﻟﻪ، ﻭﻻ ﻳﻐﺘﺮ ﺑﻪ، ﻭﺃﻥ ﻳﺴﻌﻰ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻳﺤﺜﻪ ﻋﻠﻰ اﻻﺳﺘﻘﺎﻣﺔ ﺃﻭ ﻳﺴﺘﺪﻝ ﺑﻪ.
اﻟﺨﺎﻣﺲ: ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺠﺎﻫﺮا ﺑﻔﺴﻘﻪ ﺃﻭ ﺑﺪﻋﺘﻪ ﻛﺎﻟﻤﺠﺎﻫﺮ ﺑﺸﺮﺏ اﻟﺨﻤﺮ، ﻭﻣﺼﺎﺩﺭﺓ اﻟﻨﺎﺱ، ﻭﺃﺧﺬ اﻟﻤﻜﺲ، ﻭﺟﺒﺎﻳﺔ اﻷﻣﻮاﻝ ﻇﻠﻤﺎ، ﻭﺗﻮﻟﻲ اﻷﻣﻮﺭ اﻟﺒﺎﻃﻠﺔ، ﻓﻴﺠﻮﺯ ﺫﻛﺮﻩ ﺑﻤﺎ ﻳﺠﺎﻫﺮ ﺑﻪ، ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺫﻛﺮﻩ ﺑﻐﻴﺮﻩ، ﻣﻦ اﻟﻌﻴﻮﺏ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﺠﻮاﺯﻩ ﺳﺒﺐ ﺁﺧﺮ ﻣﻤﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ.
اﻟﺴﺎﺩﺱ: اﻟﺘﻌﺮﻳﻒ، ﻓﺈﺫا ﻛﺎﻥ اﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ ﺑﻠﻘﺐ اﻷﻋﻤﺶ، ﻭاﻷﻋﺮﺝ ﻭاﻷﺻﻢ، ﻭاﻷﻋﻤﻰ ﻭاﻷﺣﻮﻝ، ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺟﺎﺯ ﺗﻌﺮﻳﻔﻬﻢ ﺑﺬﻟﻚ، ? ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺇﻃﻼﻗﻪ ﻋﻠﻰ ﺟﻬﺔ اﻟﺘﻨﻘﻴﺺ، ﻭﻟﻮ ﺃﻣﻜﻦ ﺗﻌﺮﻳﻔﻪ ﺑﻐﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻛﺎﻥ ﺃﻭﻟﻰ. ?
ﻓﻬﺬﻩ ﺳﺘﺔ ﺃﺳﺒﺎﺏ ﺫﻛﺮﻫﺎ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻭﺃﻛﺜﺮﻫﺎ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ.
والله أعلم.
" Ketahuilah sesungguhnya ghibah itu dibolehkan untuk tujuan yang benar sesuai syariat, yang tidak mungkin diraih kecuali dengan cara ghibah tersebut, hal itu ada dalam enam perkara:
1. Yang pertama orang yang terzalimi. Maka bagi orang yang terzalimi boleh untuk melaporkan kepada penguasa atau hakim dan selainnya dari pihak yang berwenang, atau orang yang mampu menengahi dari orang yg menzaliminya. Lalu ia berkata: Si fulan telah menzalimi saya.
2. Yang kedua: Dalam rangka meminta tolong untuk menghilangkan kemungkaran, mengembalikan orang yang berbuat maksiat ke jalan yang benar. Lalu ia berkata kepada orang yang diharapkan bisa menghilangkan kemungkaran tersebut: “Fulan telah berbuat (maksiat) demikian, maka hendaknya engkau mencegahnya.” Atau kalimat yang semisal itu. Maksud/tujuannya adalah mencari sarana untuk menghilangkan kemungkaran tersebut. Maka jika ia tidak bermaksud seperti itu, maka hukumnya haram.
3. Yang ketiga : Meminta fatwa, lalu ia mengatakan kepada mufti: Ayahku, saudaraku, suamiku atau fulan telah menzalimiku demikian, apakah hal itu boleh baginya? Dan saya tidak memiliki jalan untuk terlepas dari orang ini dan mengambil hak saya serta mencegah kezalimannya (kecuali dengan itu)? Dan yang semisal itu. Maka itu boleh kalau ada hajat.
Akan tetapi yang afdhal dan lebih hati-hati hendaknya ia mengatakan: Apa pendapat anda, tentang seorang atau seorang suami yang keadaannya demikian? Maka jika sudah tercapai tujuannya tanpa menyebut nama individunya (itu lebih baik). Walaupun jika menyebut namanya itu boleh juga, sebagaimana kami akan sebutkan dalam hadits Hindun radhiallahu’anha in sya Allah.
4. Yang keempat: Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan dan menasihati mereka. Yang demikian ini dari beberapa segi:
• Diantaranya: Jarh (kritikan) terhadap orang yang dikritik dari para rawi dan saksi. Yang demikian itu boleh dengan ijmak kaum muslimin, bahkan wajib untuk tujuan ini.
• Diantaranya juga: Ketika meminta pendapat (saran) ketika hendak menikah dengan seorang, atau kerja sama dengannya, menitipkan sesuatu, bermuamalah dan selain itu, atau berdialog dengannya. Wajib bagi orang yang dimintai saran untuk tidak menyembunyikan keadaan orang tersebut. Bahkan dia mesti menyebutkan kejelekkan-kejelekkan yang ada padanya dengan niat menasihati.
• Dan diantaranya : Jika melihat seorang pelajar yang bolak-balik menemui ahli bidah, atau orang fasiq yang ia mengambil ilmu darinya, dan dikawatirkan pelajar tadi akan mengalami mudharat dengan itu. Maka wajib menasihatinya dan menjelaskan keadaannya (ahli bidah). Dengan syarat untuk tujuan menasihatinya.
Dan ini diantara perkara yang salah dalam hal ini : Terkadang yang mengkritik itu terbawa sifat hasad (dalam menjarh), syaitan membuat pengkaburan dalam hal itu, digambarkan seolah-olah itu adalah nasihat. Maka berlaku cermatlah dalam mengkritik.
• Diantaranya: Orang yang mempunyai amanah tanggung jawab, tapi tidak melaksanakannya sebagaimana mestinya: Baik karena memang ia tidak pantas untuk itu, ataupun karena ia adalah seorang fasiq atau teledor dan semisalnya. Maka wajib untuk menyebutkan (kekurangan orang itu) kepada pihak yang memiliki kewenangan umum untuk menyingkirkannya dan menggantikannya dengan orang yang pantas. Atau mengabarkan hal itu agar ia ditindak sesuai keadaannya, tidak tertipu dengannya, dan berupaya untuk mendorongnya agar istiqamah atau membimbingnya.
5. Yang kelima: Ketika seorang itu terang-terangan menampakkan perbuatan fasiqnya, atau kebidahannya. Semisal terang-terangan menampakkan minum khamer, merampok manusia, minta pajak dan pungutan uang secara zalim, melakukan perkara-perkara yang batil. Maka boleh disebutkan perkara yang dia tampakkan, dan diharamkan menyebutkan aib-aib selainnya, kecuali disebutkan kejelekannya karena suatu sebab lain yang telah kami sebutkan.
6 Yang keenam: Dalam rangka mengenalkan. Maka jika seorang insan dikenal dengan gelar si Buta, si Pincang, si Tuli, si Picek, si Juling dan selain mereka, boleh saja mengenalkan mereka dengan hal itu. Dan diharamkan menyebutkannya dengan maksud menghina/merendahkamnya. Seandainya memungkinkan menyebutkannya dengan selain itu, tentu lebih utama.
Maka ini adalah enam sebab yang disebutkan para ulama dan kebanyakannya adalah perkara yang telah disepakati"
Kedua :
Banyak juga diera sekarang para ulama baik secara Tim maupun individu menjelaskan kebolehan melakukan Ghibah Jenis ini,diantaranya :
Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah-KTB, Redaksi Dalamislam,NU Dsb....
Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah-KTB, Redaksi Dalamislam,NU Dsb....
Secara individu yang Tokoh - tokoh membolehkan adalah Buya Yahya,Ustadz Abdussomad dll..... (silahkankan googling)
Ketiga :
"Sesungguhnya saya perna mendengarkan penjelasan mengenai "Ghibah Yg Mubah" dari Alm K.H. Abdul Halim rahimahulloh,beliau sendiri pernah membenarkan kepada khodimnya yg melaporkan kesalahan seorang Tokoh Tabligh yang pada waktu itu heboh bikin kesalahan fatal pada waktu itu; yakni suka sesama jenis (liwath)"
Kesimpulan :
"Para Ulama mengakui "Bolehnya Ghibah atau membukan Aib orang lain yang dianggap berbahaya bagi Ummat dengan tujuan untuk kemaslahatan umum,bahkan kondisi tertentu bisa harus atau wajib "
Saran buat semua
*Perbaiki niat kita dalam semua urusan , khususnya dalam hal membuka aib orang - penting atau tidak membukanya ??- *
Kesimpulan :
"Para Ulama mengakui "Bolehnya Ghibah atau membukan Aib orang lain yang dianggap berbahaya bagi Ummat dengan tujuan untuk kemaslahatan umum,bahkan kondisi tertentu bisa harus atau wajib "
Saran buat semua
*Perbaiki niat kita dalam semua urusan , khususnya dalam hal membuka aib orang - penting atau tidak membukanya ??- *
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
A.Hikam.S
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Tanggapi ! Bebas Sopan.....