ENAM DALIL MENYIKAPI OMONGAN ORANG KAFIR YANG BENAR DAN OMONGAN ULAMA YANG KELIRU



بــــــــسم الله الرحمن الرحيم 

الحمد لله الذي جعل الحقَّ ضالَّةَ المؤمن، والصلاة والسلام على من قال: “قُلِ الحقُّ من ربِّكم”، وعلى آله وصحبِه أجمعين.

Deskripsi 
Mengambil hikmah atau kebenaran, meskipun dari lisan orang yang akidahnya menyimpang , non muslim (kafir ) semacam Aristoteles , Plato,Socrates atau fasik, itu memang boleh. Bahkan mengakui kebenaran dari siapa pun adalah keharusan, selama jelas bahwa yang ia ucapkan adalah sesuatu yang benar.

Namun, kebenaran yang muncul dari mereka tidak menjadikan mereka mulia di sisi Allah dengan kata lain " menjadi wali Alloh" , dan tidak pula menjadikan mereka panutan atau idola. Tidak patut bagi seorang mukmin menjajarkan orang kafir atau fasik ke dalam barisan orang-orang saleh hanya karena sekali dua kali mereka berkata benar.

Begitu pula sebaliknya — jika kita mendengar kesalahan, kekeliruan, atau pernyataan yang menyalahi akidah, maka kita wajib menolaknya, meskipun hal itu, keluar dari lisan guru - guru kita sendiri atau orang yang saleh atau bahkan dari kalangan ulama atau waliyyulloh sekalipun.
Sikap kita menolak ucapannya bukan berarti memvonis keimanannya. Bisa jadi ia khilaf, keliru (bersifat sementara) atau tersandung dalam satu ucapan yang di kemudian hari akan ia ralat dan bertobati.

Pada dasarnya , hanya Allah-lah yang mengetahui isi hati manusia dan akhir perjalanan mereka.
Kita cukup berlaku adil:
✅ Terima yang benar, dari siapa pun.
❌ Tolak yang salah, dari siapa pun.
Tanpa fanatik, tanpa benci berlebihan — sebab ukuran kebenaran bukan siapa yang berkata, tapi apa yang dikatakan.


Di bawah ini saya sertakan dalil-dalilnya dari Alquran dan hadis serta dari kaul para ulama

Pertama :
قال الله تعالى:
> قُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ
Katakanlah: Kebenaran itu datang dari Tuhanmu.”
(الكهف: 29)

Kedua 
وقال سبحانه:
> فَبَشِّرْ عِبَادِ، الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
Berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya.”
(الزمر: 17–18)

أي أنَّ الحقَّ يُقبَلُ من أيِّ قائلٍ كان
Sesungguhnya Islam tidak mengikat kebenaran pada pribadi, melainkan pada wahyu dan dalil. Maka siapa pun yang mengucapkan kebenaran, meskipun kafir atau fasik, maka ucapannya diterima — bukan karena dirinya, tetapi karena kebenarannya.

Ketiga

Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa hikmah adalah milik orang beriman — di mana pun ia menemukannya.

قال النبي ﷺ:

> «الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ، أَنَّى وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا»
(رواه الترمذي رقم 2687، وابن ماجه رقم 4169)

Hikmah (kebijaksanaan/kebenaran) adalah barang yang hilang milik seorang mukmin; di mana pun ia menemukannya, maka dialah yang paling berhak atasnya.”

قلت أي: لا يُنظَرُ إلى قائِلِها، ولكن يُنظرُ إلى صِدقِها وموافقتِها للوحي.
Yakni: tidak dilihat siapa yang mengatakannya, tetapi dilihat kebenaran ucapannya dan kesesuaiannya dengan wahyu.”

Keempat 
قال الإمام مالك رحمه الله:
> «كُلٌّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ، إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ ﷺ»
(نقله ابن عبد البر في جامع بيان العلم 2/32)
Setiap orang bisa diambil dan ditolak omongan (perkataannya(, kecuali sabdaan penghuni kubur ini ﷺ (yakni Rasulullah ﷺ).”

Kelima 
وقال الإمام الشافعي رحمه الله:
> «رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ، وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ»
(مناقب الشافعي للبيهقي 1/438)

Pendapatku mungkin benar, namun juga mungkin mengandung kesalahan; dan pendapat orang lain mungkin salah, namun mungkin mengandung jugq kebenaran.”


Masya Allah, Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh saja menunjukkan kerendahan hati dalam ilmiahnya (tawāḍu‘ ‘ilmī):
Beliau meyakini pendapatnya berdasarkan ijtihad, namun tetap membuka ruang bahwa dirinya bisa salah dan orang lain bisa benar.
Inilah akhlak para ulama sejati — mencari kebenaran, bukan kemenangan.

Keenam 

Imam al-Ghazālī menjelaskan dalil ke 3 diatas , bahwa hikmah bukan milik golongan tertentu, tapi cahaya dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

قال رحمه الله في إحياء علوم الدين (ج 1، ص 95)"
> «الحكمةُ ضالَّةُ المؤمن، يأخذُها حيثُ وجدها، ولا يَنبغي أنْ يَستحيي من قَبولِ الحقِّ مِنْ مَن كانَ، فإنَّ النظرَ إلى القولِ لا إلى القائلِ، والحقُّ يُقبَلُ مِنْ كُلِّ مَن نطقَ به"
 “Hikmah adalah barang hilang milik seorang mukmin; ia mengambilnya di mana pun ia menemukannya.
Tidak sepantasnya seseorang merasa malu untuk menerima kebenaran dari siapa pun yang mengatakannya,
karena yang dilihat adalah isi ucapan, bukan siapa yang mengucapkannya.
Kebenaran diterima dari siapa pun yang mengatakannya.”

Maknanya: “Seorang mukmin tidak sepatutnya dan tidak perlu malu menerima kebenaran dari siapa pun yang mengucapkannya , karena sesungguhnya pandangan seorang pencari kebenaran tertuju pada isi ucapan, bukan pada siapa yang berkata.”

Menurut al-faqīr, meskipun kredibilitas seorang ulama yang berintegritas dan berkompeten patut dihargai, hal itu tidak berarti maknanya harus diterima secara mutlak tanpa telaah. Justru, perkataan mereka bisa dijadikan bahan pertimbangan dan acuan dalam menimbang kebenaran suatu ucapan. Namun demikian, perhatikan ucapan Imām al-Syāfi‘ī di atas — padahal beliau sendiri adalah sosok ulama yang sangat berkompeten, memiliki integritas tinggi, dan keilmuan yang luas serta memumpuni , tetapi tetap menegaskan pentingnya menerima kebenaran dari siapa pun yang mengucapkannya.


Walaupun boleh menerima kebenaran dari orang kafir atau fasik, namun tidak boleh menjadikan mereka sebagai auliya’ atau panutan, hanya karena satu omongannya yang membuat kita Terpukau, perhatikan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala di bawah ini

قال الله تعالى:
> وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
(هود: 113)
Dan janganlah kamu cenderung (condong, berpihak, bersandar) kepada orang-orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh oleh api neraka.”

Sebaliknya, jika ucapan salah keluar dari orang saleh atau ulama, kita wajib menolak ucapannya,fatwanya,sanggahannya dsb,namun tetap menjaga kehormatan pribadinya. Tanpa mengait-aibkannya seenaknya di dalam obrolan-obrolan umum di manapun, dan jika kita punya kemampuan boleh mungkin juga mengungkap kesalahannya kepada orang yang akan menjadikannya sebagai rujukan Apalagi itu berbasis dosa dan penyimpangan akidah

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda
قال النبي ﷺ:
> «الحقُّ أحقُّ أن يُتَّبَع»
(رواه البخاري ومسلم)

Kebenaran lebih pantas berhak untuk diikuti.


✨ Penutup 

اللهم أرنا الحقَّ حقًّا وارزقنا اتباعَه، وأرنا الباطلَ باطلًا وارزقنا اجتنابَه.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran, dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan, serta karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya.”

وصلى الله على سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه وسلم تسليمًا كثيرًا.

📚 Daftar Pustaka (Marojik)
  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari.
  3. Muslim, Sahih Muslim.
  4. At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi.
  5. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad.
  6. Al-Bayhaqi, Manāqib asy-Syāfi‘ī.
  7. Ibn ‘Abd al-Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlih.
  8. Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn.

Komentar

Postingan Populer